Rabu, 28 September 2011

PEMBELAJARAN I2M3

PEMBELAJARAN I2M3
(Pembelajaran yang Interaktif, Inspiratif, Menyenangkan, Menantang, dan Memotivasi Peserta Didik )
Oleh Saiful Amin, guru SMP Negeri 2 Megaluh Jombang



PENDAHULUAN
Pada tahun 2005, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Standar Nasional Pendidikan meliputi 8 (delapan) standar, yaitu: (1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidikan dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan; dan (8) standar penilaian. Standar-standar tersebut adalah standar minimal. Artinya satuan pendidikan dapat mencapai standar yang lebih tinggi dari standar nasional tersebut.
Standar yang tercantum dalam PP tersebut masih bersifat global. Untuk memerincinya diperlukan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas). Karena jumlah standar nasional ada delapan, minimal dibutuhkan delapan Permendiknas. Saat itu (2005) belum satupun Permendiknas yang dihasilkan. Padahal Pemerintah mengharap setiap satuan pendidikan segera menyusun program untuk mencapainya. Sebagai pedoman sementara, sampai Permendiknasnya dikeluarkan, Pemerintah menyusun Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Mendiknas mulai mengeluarkan Permendiknas pada tahun 2006, yaitu Permendiknas nomor 22 tentang standar isi, nomor 23 tentang standar kompetensi lulusan, dan 24 tentang pelaksanaannya. Permendiknas nomor 22, dan 23 mengamanatkan kepada setiap satuan pendidikan untuk menyusun kurikulum satuan pendidikannya sendiri-sendiri, yang dikenal dengan istilah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Namun perlu diingat, Permendiknas tersebut hanya memberikan rambu-rambu tentang standar isi dan standar kompetensi lulusan atau kurikulumnya. Bagaimana proses pembelajaran dan penilaiannya, masih diperlukan dua Permendiknas lagi, yaitu Permendiknas tentang standar proses dan Permendiknas tentang standar penilaian. Baru pada tahun 2007, dikeluarkan Permendiknas nomor 20 tentang Standar Penilaian, dan Permendiknas nomor 41 tentang Standar Proses. Permendiknas nomor 41, memberikan rambu-rambu proses pembelajaran pada KTSP, dan Permendiknas nomor 20 memberikan rambu-rambu penilaian KTSP. Fokus tulisan ini adalah memberikan deskrispsi proses pembelajaran yang mengacu pada Permendiknas nomor 41 tahun 2007 yang penulis beri nama pembelajaran I2M3.

PEMBELAJARAN I2M3
Pembelajarana I2M3 adalah pembelajaran yang berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (PP 19/2005, pasal 19 ayat 1). Pembelajaran I2M3 dimulai dengan membuat perencanaan. Perencanaan berupa silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Pelaksanaan pembelajaran I2M3 mengacu pada ketentuan-ketentuan sebagai berikut: (1) jumlah siswa per rombongan belajar (kelas) untuk SD/MI maksimal 28 siswa, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK maksimal 32 siswa; (2) beban mengajar guru sekurang-kurangnya 24 jam, yang meliputi kegiatan pokok merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan lainnya (Permendiknas nomor 41/2007).
Ditinjau dari sisi pengelolaan kelas, dalam pembelajaran I2M3 tampak sebagai berikut: (1) guru mengatur tempat duduk sesuai dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, serta aktivitas pembelajaran yang akan dilakukan; (2) volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus dapat didengar dengan baik oleh peserta didik; (3) tutur kata guru santun dan dapat dimengerti oleh peserta didik; (4) guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kecepatan dan kemampuan belajar peserta didik; (5) guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan, keselamatan, dan kepatuhan pada peraturan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran; (6) guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap respon dan hasil belajar peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung; (7) guru menghargai peserta didik tanpa memandang latar belakang agama, suku, jenis kelamin, dan satus sosial ekonomi; (8) guru menghargai pendapat peserta didik; (9) guru memakai pakaian yang sopan, bersih, dan rapi; (10) pada tiap awal semester, guru menyampaikan silabus mata pelajaran yang diampunya; dan (11) guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran sesuai dengan waktu yang dijadwalkan (Permendiknas nomor 41/2007).


TAHAP-TAHAP PEMBELAJARAN I2M3
Pelaksanaan pembelajaran I2M3, menurut Permendiknas nomor 41/2007 dibagi menjadi 3 tahap, yaitu kegitan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Pada kegiatan pendahuluan guru melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran; (2) mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari; (3) menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai; dan (4) menyampaikan cakupan materi dan menjelaskan uraian kegitan sesuai silabus.
Kegiatan inti meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Dalam kegiatan eksplorasi guru melakukan hal-hal sebagai berikut; (1) melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber; (2) menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain; (3) menfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara pendidik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; (4) melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kagitan pembelajaran, dan (5) menfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.
Pada tahap elaborasi, guru melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna; (2) memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis; (3) memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut; (4) memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif; (5) memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar; (6) menfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individu maupun kelompok; (7) menfasilitasi peserta didik untuk manyajikan hasil kerja individual maupun kelompok; (8) menfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan; (9) menfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.
Dalam kegiatan konfirmasi, guru: (1) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah teerhdap keberhasilan peserta didik; (2) memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi pesertadidik melalui berbagai sumber; (3) memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan; dan (4) menfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar, sehingga guru berfungsi sebagai nara sumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yanag baku dan benar; membantu menyelesaikan masalah; memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi; memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; dan memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
Dalam kegiatan penutup guru: (1) bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran; (2) melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram; (3) memberikan umpan balik baik proses dan hasil pembelajaran; (4) merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remidi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individu maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik; dan (5) menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

METODE ATAU MODEL PEMBELAJARAN YANG MENGACU PADA PEMBELAJARAN I2M3
Pembelajaran I2M3 tidak dapat optimal jika guru menerapkan metode pembelajaran tradisional yang berpusat pada guru (teacher center). Guru hendaknya mengembangkan metode atau model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center), mengaitkan pembelajaran dengan dunia nyata siswa (contextual), siswa belajar memecahkan masalah dalam kehidupan nyata (Problem-base learning), dan siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif (cooperative learning). Metode atau model pembelajaran yang demikian biasanya disebut pembelajaran inovatif. Guru dapat mengunakan salah model pembelajaran yang lazim berkembang di Indonesia, yaitu: (1) pengajaran langsung (Direct Instruction); (2) pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning); dan (3) pembelajaran berbasis masalah (Problem Base Learning).

Model Pengajaran Langsung
Pengajaran langsung (Direct Instruction) masih menjadi model paling banyak digunakan dalam praktik persekolah di Indonesia. Banyak guru menganggap model ini paling efektif untuk mengajarkan semua materi. Pendapat ini tidak mutlak benar. Pembelajaran langsung memang cocok untuk mengajarkan mata pelajaran atau kompetensi yang bersifat keterampilan atau matarinya bersifat prosedural. Tetapi model ini kurang cocok untuk mengajarkan keterampilan sosial.
Hal ini sesuai dengan pendapat Arends (2004:305) yang menyatakan bahwa model pengajaran langsung dapat diterapkan pada beberapa mata pelajaran, khususnya mata pelajaran yang performance-oriented seperti membaca, menulis, matematika, musik, dan pendidikan jasmani. Sedangkan Nur (2005:17) menambahkan bahwa model pengajaran langsung cocok untuk mengajarkan pengetahuan yang terstruktur dengan baik dan diajarkan langkah demi langkah (prosedural), dan tidak dimaksudkan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan berfikir tingkat tinggi. Dari pendapat dua pakar di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa tidak semua mata pelajaran cocok menggunakan model pengajaran langsung.

Model Pembelajaran Koperatif
Pembelajaran koperatif merupakan model pembelajaran yang sedang digalakkan. Hampir di setiap penataran guru, model ini disosialisasikan. Sebagian besar guru telah mencoba model ini dalam pembelajarannya. Slavin (1994:287) menyatakan “cooperative learning refers to instructional mothods in which student work together in small group to help each other learn”. Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) mengacu pada berbagai metode mengajar yang mana siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk saling membantu mempelajari materi pelajaran. Dalam kelas kooperatif siswa saling membantu, berdiskusi dan berargumen dengan yang lain, saling menilai materi yang sedang dipelajari, dan saling melengkapi pemahaman. Dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar dan bekerja bersama dalam kelompok-kelompok kecil (beranggotakan 4 sampai 6 siswa) sedemikian rupa sehingga siswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar diri dan anggota kelompok lainnya. Dengan demikian dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil, mereka belajar dan mengerjakan tugas-tugas dari guru bersama-sama, saling membantu satu dengan lainnya sehingga setiap anggota kelompok dapat meraih hasil belajar yang maksimal.
Saat ini banyak guru yang menafsirkan pembelajaran kooperatif sama dengan belajar kelompok. Padahal ada perbedaan antara pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dengan belajar kelompok tradisional (traditional learning group). Perbedaanya dideskripsikan pada tabel di bawah ini:
Belajar Kelompok Tradisional Pembelajaran Kooperatif
Ketergantunga antar anggota kelompok rendah. Anggota kelompok hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri.

Tanggung jawab hanya bersifat individu




Keterampilan kerja kelompok diabaikan. Pimpinan ditentukan oleh partisipasi anggota secara langsung.


Tidak ada pemrosesan kerja kelompok. Prestasi individu yang dihargai

Ketergantungan antar anggota kelompok tinggi. Setiap anggota bertanggung jawab pada dirinya dan anggota kelompoknya

Adanya tanggung jawab individu dan kelompok. Setiap anggota memegang tanggung jawab pada dirinya dan anggota kelompoknya agar mencapai kinerja yang tinggi

Menekankan pada keterampilan kerja tim. Setiap anggota diajarkan dan diharapkan menggunakan keterampilan sosial. Kepemimpinan dibagi untuk seluruh anggota.

Menekankan pada peningkatan secara terus-menerus mutu proses kerja kelompok dan kerjasama anggota secara efektif

Dirujuk dari Johnson D.W. dan Johnson R.T. (1994: 78)

Pembelajaran kooperatif mempunyai karakter tertentu sehingga dapat dibedakan dengan pembelajaran lainnya. Arend (2004:316) mengemukakan bahwa ada empat karekteristik pembelajaran kooperatif, yaitu: (a) siswa bekerja dalam tim-tim untuk menguasai materi pelajaran; (b) tim tersusun dari siswa dengan kemampuan tinggi, sedang, dan rendah; (c) jika mungkin, dalam satu tim terdiri dari campuran dari berbagai suku, budaya, dan jenis kelamin; dan (d) penghargaan diorientasikan pada kelompok maupun individu. Sedangkan Slavin (1995: 12-13) mengemukakan enam tipologi pembelajaran kooperatif, yaitu adanya: (a) tujuan-tujuan kelompok; (b) tanggung jawab individu; (c) peluang yang sama untuk sukses; (d) kompetisi tim; (e) spesialisasi tugas; dan (f) penyesuaian pada kebutuhan individu. Ke enam tipologi tersebut menjadi karak-teristik pokok dalam pembelajaran kooperatif. Walaupun menggunakan tipe-tipe pembelajaran kooperatif yang berbeda, namun ke enam hal di atas harus tampak da-lam proses pembelajaran, sehingga menampakkan hal yang berbeda dengan metode kooperatif tradisional.
Pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa tujuan. Arend (2004) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting, yaitu: (1) hasil belajar akademik; (2) penerimaan terhadap keragaman; dan (3) pengembangan keterampilan sosial. Dengan demikian maka hampir semua mata pelajaran dapat menerapkan pembelajaran kooperatif. Namun demikian pembelajaran kooperatif sangat dianjurkan untuk mata pelajaran atau kompetensi yang menuntut pengembangan keterampilan sosial, dan penerimaan terhadap keragaman.
Ada beberapa tipe pembelajaran koperatif yang dapat dipilih dalam pembelajaran, seperti student team achievement devision (STAD), jigsaw, team games tournament (TGT), number head together (NHT), cooperative scrip, Tink Pair Share (TPS), Group Inestigation (Slavin, 1995), dan masih banyak lagi. Hal terpenting dalam memilih model pembelajaran koperatif adalah kesesuaian dengan kondisi. Kondisi tersebut meliputi: (1) karekteristik materi; (2) karekteristik siswa; (3) kompetensi yang hendak dicapai; dan (4) sarana dan prasaran yang mendukung.
Model Pembelajaran Berbasis Masalah.
Pembelajaran berbasis masalah termasuk pembelajaran yang masih jarang diterapkan oleh guru. Pembelajaran ini tidak dapat diselesaikan dalam satu kali tatap muka, dan membutuhkan perencanaan yang matang. Borrow dan Tamblyn (dalam Delisle, 1997:3) menjelaskan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang hasilnya diperoleh dari proses bekerja ke arah pemahaman atau pemecahan masalah. Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa, membangun prinsip-prinsip pembelajaran mengatur belajar sendiri (self-directed learning) dan mendorong pengembangan kecakapan pembelajaran sepanjang hayat (Baptiste, 2003:13).
Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang inovatif. Dasna dan Sutrisno (2008) yang menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah (Probelem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah. PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar.
PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja. Berdasarkan uraian tersebut tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah, kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut. (Dasna dan Sutrisno, 2008)
Ditinjau dari sudut guru, Delisle (2003:14-17) menjelaskan bahwa guru dalam pembelajaran berbasis masalah mempunyai beberapa peran, yaitu: (1) mendesain kurikulum; (2) memandu siswa dalam pembelajaran; (3) sebagai evaluator tentang efektivitas masalah, kinerja siswa, dan kinerja guru. Sedangkan peran siswa dalam pembelajaran berbasis masalah adalah: (1) mengatur belajarnya sendiri, menuntun mereka belajar sepanjang hayat; (2) mencari, menyeleksi, dan memanfaatkan sumber daya yang tepat dan paling baik; (3) berfikir kritis dan klinis; (4) berperilaku secara profesional yang tepat; (5) meliputi prinsip-prinsip eti dan legal dalam praktik; (6) bekerja dalam grup dan tim; (7) berkomunikasi secara jernih dan profesional dalam bentuk ucapan dan tulisan; dan (8) berfikir proaktif.
Pembelajaran berbasis masalah mempunyai beberapa tujuan. Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh pebelajar yang diajar dengan PBL yaitu: (1) inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah, (2) belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) keterampilan belajar mandiri (skills for independent learning).




PENUTUP.
Pembelajaran I2M3 adalah kondisi yang ideal. Untuk mewujudkannya memerlukan waktu. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Yang penting, guru harus punya kemauan untuk mencapainya. Guru dapat memulai dengan selalu melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang dilakukan. Jika merasa ada kekurangan, berusaha memperbaikinya dengan melakukan perubahan-perubahan berdasarkan teori-teori dan hasil-hasil penelitian. Inilah dikenal dengan pengajaran reflekrif atau reflective teaching.
Pengajaran reflektif akan mendorong guru selalu mengkaji dan meneliti pembelajarannya. Ia tidak akan bekerja sendiri, tetapi berkolaborasi dengan teman sejawatnya. Kerja kolaboratif ini penting dibudayakan. Mulai dari guru-guru di satu sekolah dalam bentuk musyawarah guru mata pelajaran madrasah (MGMPS), maupun dalam skala lebih luas se Kabupaten/Kota (MGMP) Kabuapten/Kota. Dengan kerja kolaboratif, akan mengatahui kelemahan-kelemahan guru. Kelemahan itu diperbaiki dengan merancang pembelajaran yang inovatif menuju pembelajaran I2M3 yang ideal.

Rujukan

Arends, R.I. 2004, Learning to Teach. New York, USA. The McGraw-Hill Company,

Dasna, I.W., Sutrisno. 2008. Pembelajaran Berbasis Maslah (Problem Base Learning). Lubisgrafura/wordpress.com/htm. Diakses tanggal 30 April 2008.

Delisle, Robert. 1997. How to Use Problem-Base Learning in the Classroom. Alexandria, Virginia. ASCD

Depdiknas, 2003, Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta

Depdiknas, 2007, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 41 tahun 2007, tentang Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta

Eggen, Paul dan Kauchak, Don. 2004. Educational Psychology, Windows on Classroom. New Jersey, USA. Pearson Merril Practice Hall

Johnson, D.W., Johnson, R.T. 1994. Learning Tegether and Alone: Cooperative, Competitive, and Individualistic Learning. Massacussett: Allyn and Bacon.

Nur, Muhammad. 2004. Pembelajaran Koperatif. Surabaya. Pusat Sain dan Matematika Sekolah, UNESA

Nur, Muhammad. 2005. Guru yang Berhasil dan Model Pengajaran Langsung. Surabaya. LPMP Jawa Timur, Dirjen Mandikdasmen, Depdiknas.

Slavin, R. E. 1994. Educational Psychology, Theory and Practice. Massacussett. Allyn and Bacon.

Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. Massacussett: Allyn and Bacon.